NOVEL.
"Sudah kukatakan, bu. Aku tidak mau!" Kataku
pagi itu.
"Kamu itu, gimana sih. Kan hidupmu bisa
enak." Kata ibuku.
"Enak?" Tanyaku
"Iya, Baby. Kamu ndak perlu lagi repot-repot cari
uang dengan membantu paklikmu nyelepkan jagung, kamu ndak perlu lagi
bantu mak Ti ngupas singkong, apalagi bantu pakdhe
Dar makani pitik." Jelas ibu.
"Ibu tahu sendiri kan, itu karena aku ingin
sekolah tinggi, bu. Dan itu semua kulakukan dengan senang hati. Kalau ndak gitu
aku ndak bisa nabung bu. Aku ridho melakukannya." Balasku.
"Kamu anakku satu satunya, ibu tidak ingin kamu
menderita." Ucap ibuku.
"Ya, karena aku adalah satu satunya yang ibu
punya itulah, aku harus bisa membuat ibu bahagia." Perdebatan ini
kuusaikan sudah. Aku berangkat sekolah. Ibuku yang merasa belum puas dengan
perdebatan memanggil-manggil namaku,
"Baby... Baby!"
***
Ya, namaku Baby. Hanya Baby. Sampai matipun aku masih
bayi. Mungkin itu pula yang dirasa ibuku padaku.
Pagi itu, aku berangkat sekolah dengan perasaan yang
tidak menentu. Tak biasanya aku memasuki pintu gerbang sekolah dengan cemberut.
Tak biasanya pula aku langsung masuk ke kelas. Lebih tidak biasa lagi, hari itu
aku tak mau diajak ke taman sekolah, tempat kami ngobrol ketika istirahat.
Teman-teman dekatku merasakan perbedaan Itu. "Babi." Panggilan mereka
kepadaku, awalnya aku sakit hati, tapi lama lama terbiasa juga. Mungkin karena
kulitku yang putih kemerah-merahan, sehingga teman-teman dekatku memanggilku
seperti itu."Jangan mematung begitu." Yogi mengagetkan lamunanku.
Yogi adalah sahabatku. Kami sudah berteman sejak masih SD. Sampai sekarang aku
kelas 2 SMA, kami selalu satu sekolah. Hanya beda kelas dan jurusan. Yogi anak
IPA, aku anak BAHASA.
"Dasar, Dogy." Seketika kubalas dia. Memang
begitulah kami. Karena dia memanggilku babi, kupanggil dia Doggy. Tapi kami
berdua seperti tidak mempermasalahkan itu. Hubungan kami tetap baik.
"Kau ini kenapa? Nggak lucu ah, diem diem begini.
Lagi sakit gigi? Sakit kepala? Atau lagi
haid?" Ledeknya.
"Apaan sih, kamu ini." Ucapku, sambil pergi keluar kelas. Yogi masih
mengikutiku. Aku berjalan tanpa menghiraukannya. Langkahku terhenti di sebuah
tiang yang akhirnya kugunakan untuk bersandar.
"Dog, menurutmu, apakah aku bisa menjadi
desainer?" Tanyaku pada Yogi.
"Gak bisa." Jawabnya mengejutkanku. Aku langsung
menatapnya tajam. "Karena kamu akan jadi desainer terkenal." Aku
langsung tersenyum malu. Perbincangan kami buyar karena bel sudah berbunyi,
kami masuk kelas masing-masing.
Sepanjang pelajaran berlangsung, kekacauan hatiku tak hilang. Hingga bel pulang
berdering pun aku masih terbayang setiap kalimat yang keluar dari mulut ibuku.
"Pulang yuk." Ajak Puspita padaku. "Kamu duluan aja Pus."
Satu lagi sahabatku, kami biasa memanggilnya Pus (sebutan kesayangan untuk
kucing). "Ah, babi... Nggak enak kalau pulang gak ada kamu." Katanya.
"Ya sudahlah, ayo." Aku pun pulang bersama
Pus. Sepanjang perjalanan, aku tak banyak bicara meski Pus selalu memancing
pembicaraan ke arah lucu, seru, bahkan ke arah gosip.
Akhirnya, sampai juga aku di rumah. Aku tahu, Pus
merasa ada yang salah dariku, tapi dia tidak berani bertanya karena aku pun
tidak memberikan tanda padanya untuk menceritakan masalahku. Sesampainya di
rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Lalu pintu kamar kukunci.
Di dalam kamar, aku hanya merenung sendiri. Memandang
keluar jendela. Dalam diamku itu, tiba-tiba aku mendengar suara mobil berhenti
di depan rumahku. Beberapa saat kemudian aku mendengar pintu diketuk. Lalu aku
kembali pada lamunanku.
Tok... Tok... Tok... "Baby, bisa keluar
sebentar." Suara ibu membuyarkan lamunanku. Tapi aku menggunakan alasan
'banyak tugas' untuk menolak ajakan ibu. Mendengar jawabanku, ibu tak banyak
membujuk, lalu berhenti mengetuk pintu .
Aku duduk dekat jendela, pandanganku mengarah keluar.
Beberapa saat kemudian, tampak seorang laki laki keluar dari rumahku menuju
mobilnya. Tampak dari belakang lelaki itu kira kira berusia 60 tahun an. Karena
rambutnya sudah berubah dan langkahnya pelan.
Ibu mengikutinya dari belakang sambil berkata,
"Maafkan anak saya pak Suryo, dia masih kekanak-kanakan." Lelaki itu
hanya tersenyum, lalu memasuki mobilnya.
"Jadi lelaki itu yang akan dijodohkan ibu
denganku? Tega sekali ibu," gerutuku. Aku semakin membulatkan tekadku
untuk menolak ini. Tanpa kusadari, ibu melihat ke arah jendela kamarku dan
melihatku kesal.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu kamar
diketuk. "Baby, buka pintu." Pintanya tegas. Aku pun membukakan
pintu. Lalu menelungkupkan badanku di atas kasur. Ibuku menarik kursi belajarku
mendekat ke arahku dan memandangiku, lalu berkata pelan padaku.
"Kau tahu sendiri kan kebiasaan di sini? Kau juga
tahu asal usulmu? Kau paham betul, bagaimana ibumu ini bertahan? Semua karena
ibumu ini sepakat dengan norma di sini. Mana mungkin kita bisa hidup cukup
seperti ini kalau tidak mengikuti itu semua. Baby, kau tahu itu semua. Harusnya
kaupun seperti ibumu ini, ikut arus itu."
Melihatku tidak memandangnya, ibu terus mengatakan
hal-hal yang sebenarnya kami berdua sama sama tahu.
"Ibu menikah dengan bapakmu ketika seusiamu. Dengan
itu, ibu bisa memiliki rumah ini dan seperangkat alat jahit. Ibu mampu
membesarkanmu, menyekolahkanmu, memenuhi segala keinginanmu, dan tidak pernah
menyusahkan orang lain.
Kau memang tidak pernah bertemu bapakmu, tapi ibumu ini
sudah bercerita tentangnya.
"Kita hidup tanpa kekurangan. Bahkan bisa
membantu sesama. Kita pun hidup bahagia. Mereka yang juga melakukan ini pun
juga sama."
"Menikah bukan sesuatu yang salah, Baby."
Ibuku mengakhirinya dengan kalimat itu, lalu berdiri hendak keluar kamarku.
"Tapi menjanda di usia muda bukan keinginanku,
bu." Balasku sebelum ibu keluar kamar. Ibuku berhenti sejenak, kemudian
keluar dari kamarku.
Tidak aku pungkiri, setiap detail kalimat ibuku tidak
salah, tapi aku masih belum bisa mengatakan benar, karena hati kecilku menolak
kebiasaan Kawin Kontrak yang sudah mendarah daging di sini. Sejak dahulu, entah
sejak jaman apa, tempatku tinggal ini terkenal dengan kebiasaan yang tak lazim,
yaitu menghalalkan pernikahan sistem kontrak. Di tempat kami hanya butuh seorang
penghulu untuk mengesahkan itu semua. Dan laki laki yang akan mengawini wanita
di tempat kami hanya perlu membangunkan rumah dan membelikan mesin jahit
sebagai modal penghidupan.
Dan aku, entah korban atau apa namanya, telah
ditinggal bapakku yang berkebangsaan Turki sejak usiaku dua tahun akibat
kontrak pernikahan sudah habis. Menurut ibuku, bapakku menikahinya karena waktu
itu dia bekerja di sini. Setelah urusan pekerjaannya selesai, selesai juga
kawin kontraknya dengan ibuku, jadilah aku.
Aku sudah memahami itu. Nah, saking pahamnya, aku
semacam menolaknya. Tetanggaku yang seperti ibuku bahkan telah melakukan kawin
kontrak lebih dari satu kali. Atau kawin lagi dengan orang lain yang tidak
kontrak. Hanya ibuku saja yang tidak menikah lagi.
Selama ini, aku hanya hidup berdua. Hidupku lempeng
saja. Makanya, aku selalu membantu orang-orang untuk menghilangkan kejenuhan.
Bahkan, aku juga bekerja. Bekerja apa saja. Uangnya selalu kumasukkan dalam
kotak, tak pernah kugunakan untuk apa apa. Karena ibuku sudah memenuhi semua
kebutuhanku dari hasilnya menjahit.
Ibuku penjahit terkenal di daerahku. Jahitannya yang
halus dan disiplinnya dalam menyelesaikan jahitannya, membuat ibuku laris, tak
pernah sepi order. Dari situlah aku hidup selama ini. Aku tak pernah melihat
ibuku bersantai santai.
Seandainya, ada sosok bapak yang mendampingi kami, ibu
tak mungkin membanting tulang seperti itu. Sayangnya, hal itu tak disadari oleh
ibuku. Coba pernikahan ibu bukan kontrak, pasti ibu bisa agak santai menghadapi
hidup.
Sekarang jamannya sudah berbeda, harusnya kebiasaan
ini pun berubah atau bahkan dihilangkan. Aku semakin memantapkan tekadku untuk
bersekolah setinggi-tingginya, menggapai cita-citaku sebagai desainer.
"Baby, makan malam," ajak ibu.
"Ya, bu," jawabku. Kemudian aku keluar.
Di meja makan tak banyak yang kami perbincangkan.
Setelah makan, aku rapikan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu, aku
menghampiri ibu yang sedang melihat tv sambil memasang kancing baju.
"Ibu, apakah selama ini aku pernah membantah ibu?"
Tanyaku. Ibu langsung meletakkan pekerjaannya beralih memandangiku, lalu
bertanya balik, "Maksudmu?"
"Ya, seingat ibu, kapan anak ibu ini pernah
membantah atau tidak menuruti perintah ibu?" Kuperjelas pertanyaanku. Ibu
memegang tanganku dan berkata, "ibu selalu bersyukur memilikimu, Baby. Kau
tidak pernah sekalipun menyusahkan ibu."
"Sekali ini, bu. Aku ingin tidak menuruti
permintaan ibu. Aku mohon bu, aku masih ingin melakukan banyak hal. Biarlah aku
meraih mimpiku, bu. Tolonglah bu, jangan berhenti mendukungku dan mendoakanku.
Hanya ibu yang aku punya." Pintaku sambil kucium tangan ibu.
Mendengarku seperti itu, ibu langsung memelukku.
"Baby, baiklah. Ibu tidak akan memaksamu. Kejarlah cita-citamu." Kami
saling berpelukan erat.
***
Sejak perbincangan malam itu, kami tak lagi membahas
perihal Kawin Kontrak. Aku kembali seperti Baby biasanya. Tetanggaku masih
melakukan itu. Teman sepermainanku sudah menjadi ‘korban’ atas kebiasaan itu.
Aku? Tetap dengan pendirianku.